Ada Ernest Francois Eguen Douwes Dekker. Tapi juga ada Eduard Douwes Dekker. Tetapi Ernest Francois Eguen Douwes Dekker dilahirkan 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Ayahnya seorang Belanda, mamanya Indo yang dialiri darah Madura. Ernest Francois Indo juga namanya, meski tercatat secara resmi sebagai bangsa Belanda. Eguen Douwes Dekker, kakak dari kakek Ernest adalah Asisten Residen di Lebak, Rangkasbitung. Dikenal karena menulis buku Max Havelaar atau populer dengan judul Saija dan Adinda dengan nama samaran Multatuli. Kembali ke Ernest Francois Egues Douwes Dekker. Lulus HBS di Batavia pada usia 18 tahun dan bekerja kemudian di perkebunan kopi.
Tapi tak betah lama karena merasa risih dengan rasa ketidakadilan yang dipendamnya. Usia 20 tahun, Ernest melanglang buana. Ikut perang Boer di Afrika Selatan (Transvaal) membela petani petani kecil yang memberontak melawan Inggris sebagai tenaga sukarelawan. Pemerintah Belanda tahu dan kewarganegaraan Ernest dicabut !. Ia masuk warganegara Transvaal dan menerima penghargaan gelar “Boer’s Fighting Man” karena keberaniaanya. Ernest pernah ditanggap Inggris dan dipenjarakan di Sri Lanka. Dengan cara berpetualang ia dapat kembali ke Batavia dengang menggemgam satu tujuan : Memerdekakan rakyat dan membangun negara dan bangsa. Ketika itu usianya baru 24 tahun saat ia memulai upayanya dengan propaganda.
Baca Juga : Awal Islam di Jawa
ia jadi wartawan lepas dari beberapa surat kabar, lalu menjadi Redaktur Bataviash Niewsblad dan akhirnya menjadi Pemimpin Redaksi. Ernest mulai berhubungan dengan para mahasiswa pada Sekolah Dokter Jawa yang populer dengan nama Stovia dan kemudian membantu gerakan Boedi Oetomo. Surat kabarnya dimanfaatkan untuk menampung dan menyuarakan isi hatinya dan rekan rekannya untuk membela kepentingan rakyat. Disitu Ernest mulai berkenalan dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantoro alias Suwardi Suryaningrat. Mereka bertiga adalah Tiga Serangkai yang tak segan-segan mengancam kaum kolonial Belanda. Bahkan berani melawan Belanda. Tahun 1912 mendirikan Indische Partij di Bandung.
Ernest dianggap membahayakan Belanda. Dia dipecaat. Tapi di Bandung, ia justru mendirikan surat kabar De Express yang berhaluan nasionalis murni. Selain menulis Ernest juga melakukan ceramah di berbagai kota di Jawa dengan nada menggugah semangat kebangsaan rakyat Indonesia. Ini sangat berbahaya, kata Belanda. Dan Tiga Serangkai itu pun ditangkap Pemerintah Belanda, dan tahun 1913 mereka diasingkan ke Negeri Belanda. Sampai Perang Dunia 1 pecah, Douwes Dekker tetap tak boleh kembali ke Indonesia dan kesempatan ini dipakainya untuk kuliah di Zurich, Swiss hingga memperoleh gelar Doktor bidang Poltik dan Ekonomi. Ia mendaftar diri dengan Kebangsaan Jawa !.
Petualangan karena rasa cintnya pada perdamaian dan keadilan telah membuat Douwes Dekker sempat mendekam di penjara San Fransisco dan Hongkong. Tahun 1920 ia berada di sel penjara Batavia setelah dipindah dari penjara Bandung dan Semarang sebelum memperoleh kebebasan. Di Bandung, aktif pada bidang pendidikan, tahun 1941 sempat diamankan lagi oleh Belanda karena dianggap membahayakan. Semula di Jebloskan ke penjara Ngawi, pindah ke Malang. Siksa dan derita yang dialami di penjara membuat matanya menjadi buta. Tahun 1942 ia termasuk salah seorang penumpang gerbong maut. Sebuah gerbong yang dijejali 145 orang tawanan ditutup rapat dan di las menuju Surabaya. Dalam waktu 40 hari mereka ditawan dalam gerbong itu dengan pelayanan yang amat buruk, lalu diangkut dengan kapal ke Suriname.
Juli 1946, Ernest Douwes Dekker dibawa ke Amsterdam namun sebelum tahun 1947, ia berhasil menyelundup kembali ke Indonesia dan satu keajaiban dalam pelayaran tersebut, matanya yang buta total sembuh sama sekali. Kegembiraan yang meluap luap. Apalagi Ernest Francois Eguen Douwes Dekker dapat menyaksikan kibaran sang merah putih di angkasa Indonesia, bertemu dengan sahabat sahabatnya perjuang Indonesia dan bersama sama sahabat sahabat seperjuangan menghidup udara kemerdakaan Indonesia. Ernest Francois Eguesn Douwes Dekker, bangsa Belanda yang bersamangat Indonesia. Wartawan kulit putih yang mengaku sebagai orang Jawa.
Sumber : Majalah Krida. Mas Ari. Edisi 151.
Top
BalasHapus