Kongres XI PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) usai sudah. Perhelatan akbar itu berhasil menyempurnakan AD/ART, menyusun program dan rekomendasi, serta menetapkan Drs. A. Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PB PMII periode 1994-1997. Meski pelaksanaan Kongres XI PMII berlangsung di GOR Sugiri, Samarinda 29 Oktober – 2 November 1994, tapi pembukaanya dilakukan di Istana Negara Wakil Presiden. Dan baru kali ini, Kongres Organisasi kepemudaan dibuka oleh Wakil Presiden Try Sutrisno yang biasanya hanya dibuka oleh seorang Menteri.
Muhaimin terpilih sebagai Ketua Umum PB PMII mengantongi 57 suara dari 89 cabang PMII yang berhak memilih. Ia, menyisihkan saingan tunggalnya Musa Zainuddin. Pada awalnya, peta bursa kandidat Ketua Umum PB PMII mengerucut pada Muhaimin dan Effendy Choire. Tapi, berubah total sehari menjelang acara pemilihan. Lebih-lebih setelah mantan ketua umum PMII Iqbal Assegaf dan Ali Masykur Musa memunculkan nama Amin Said Husni, salah seorang Ketua PB PMII sebagai kandidat. Suara Jawa Timur yang sebagian besar pendukung Effendy Choire, akhirnya lari kepada Amin Said dan Muhaimin.
Demikian juga suara Sumatera, sebagian besar Jabar dan Kalsel yang asalnya mendukung Effendy Choire, lari ke Musa Zainuddin yang tak lain adalah tim suksesnya Effendy, setelah Musa mengiming-iming peserta tiket pulang dengan pesawat apabila memilih dia. Praktis dukungan Fendik, panggilan akrab Effendy Choire hancur total. Ia hanya mendapatkan 13 suara, Amin Said 11 suara, Musa Zainuddin 27 suara, Muhaimin 31 suara, Lukman Thahir 4 suara, Ridwan Ahmad 2 suara dan balnko 1 suara. Sehingga yang masuk nominasi ketua hanya Muhaimin dan Musa.
Baca Juga : Matematika Ria Bilangan dan Makna Lambang Bilangan
Akhirnya kongres PMII pertama di luar Jawa ini, berakhir dengan memilih Drs. A. Muhaimin Iskandar sebagai ketua Umum PB PMII. Tampilnya pemuda asal Jombang yang masih keponakan Gus Dur ini, tak lepas dari dukungan arus bawah. Terbukti kemunculannya sebagai kandidat ketua umum tidak mendapat dukungan dari para alumni PMII. Bahkan ia sempat diisukan anti pemerintah karena aktif di LSM dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh berhaluan “keras”. Tapi dukungan arus bawah terhadapa dirinya justru semakin kuat.
Selama ini Muhaimin memang sangat dekat dengan tokoh-tokoh pro demokrasi seperti Gus Dur, Eros Jarot, Emha Ainun Nadjib dan tokoh-tokoh LSM yang lain. “Tapi bukan berarti saya anti pemerintah! Itu isu yang sengaja dihembuskan agar saya gagal jadi Ketua Umum PB PMII,” tanda jebolan Fisipol UGM. Meski tidak didukung oleh para alumni PMII, Muhaimin akan tetap menjalin hubungan baik dengan alumni “Bagaimanapun alumni ikut memiliki andil penting dalam membesarkan PMII, karena itu mereka tidak boleh dilupakan. Kekhawatiran jika saya menjadi ketua umum PB PMII, kemudian saya akan ‘mengusik’ ketenangan para alumni, harus dibuang jauh-jauh,”harapnya.
Mengenai konsep PMII masa depan, mahasiswa program S2 Magiste of Management IPWI Jakarta, menginginkan PMII kembali pada fitrahnya. “PMII ke depan harus memiliki peran yang lebih bisa dirasakan oleh masyarakat dan mampu mengoptimalkan peran masyarakat. Sehingga mereka terlibat secara sadar dalam proses pembangunan yang berkeadilan sosial,” ungkapnya. Untuk merealisasikan konsep itu dibutuhkan kader-kader yang tanggung. Bentuk pengkaderan yang “tambal sulam” dan tanpa mempertimbangkan faktor sosiokultural, sudah saatnya dirombak.
“Saya memiliki obsesi akan membuat semacam sekolah ilmu sosial untuk para kader yang telah mengikuti pengkaderan tingkat lanjutan. Dari sinilah kader-kader PMII nantinya siap didistribusikan sebagai kader pilihan,” tandas muhaimin. Selain itu yang masih terasa kurang dalam PMII sekarang ini adalah adanya linkage atau kaitan ke sampung yang kurang digarap secara maksimal. PMII masih terlalu berkutat dengan pola lama, yakni membina hubungan secara terbatas dengan suprastruktur (negara). “Linkage vertikal memang perlu, tetapi linkage horisontal juga tak kuang pentingnya. Dan yang tak kalah pentingnya, untuk membangu PMII masa depan, harus melakukan reinterpretasi terhadap aswaja, karena perubahan sosial berlangsung begitu cepatnya.
Reinterpretasi harus dilakukan setap saat. Juga tidak harus terjebak dalma model-model teolok klasik seperti Asy’ari, Maturidy, Mu’tazilah, Khawarij dan lain-lain. Reinterpretasi bisa menimba dari sumber-sumber perkembangan baru yang berkembang dengan cepat dalam agama dan sistem kepercayaan yang lain, sebab jika ideologi aswaja hendak menemukan relevansinya secara terus menerus dengan perkembangan masyarakat. Maka ia harus mengikuti pola inklusif pola terbuka kepada setiap rangsangan-rangsangan kreativitas yang berasal dari manapun sumbernya.
Sumber : Majalah Aula. Desember 1994
0 Comments: