Kenangan ini digali kembali untuk memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia Ke - 72. Dan itu membawa kita pada tahun sekitar 1945-1948, setelah Proklamasi Kemerdekaan. Tapi kenangan ini digali dari bumi Parakan, Temanggung – sebuah kota sejuk di lereng Gunung Sindoro sumbing. Meski Hiroshima dan Nagasaki sudah diratakan oleh bom atom Sekutu, Jepang di Temanggung masih nekad bercokol, dipimpin oleh Yamakawa seorang perwira yang kejam.
Adalah seorang Kyai. Sudah uzur. Sekitar 80 tahunan. Dilahirkan di Parakan juga, kampung Kauman, sekitar 1858. Masa mudanya dikenal dengan nama Muhammad Benjin. Setelah dewasa menjadi Raden Soemo Wardojo, tapi setalah menunaikan ibadah haji, ia dikenal dengan nama populer Kyai Haji Subeki. Sebagai seorang Kyai panutan seorang ulama dan pejuang sejati Kyai Subeki melakukan Jihad Fi Sabilillah, perang lewat jalan Allah SWT.
Baca Juga : K.H. Hasyim Asy’ari Tokoh Pendiri NU
Dengan dukungan seluruh Muslim didaerahnya, mbah Kyai Subeki minta 41 orang melakukan Mujahaddah dengan Imam tetap Kyai Haji Mansyur. Diawali hari Jumat, selama 7 hari melakukan puasa sehari penuh (hanya makan sekepal nasi putih dan secangkir air putih jam 24.00 tengah malam) tanpa tidur sama sekali. Hanya melakukan shalat wajib dan segala shalat sunnah, dan malam hari dilanjutkan dengan dzikir dan wiridan dengan membaca doa-doa khusus yang panjang, shalawatan massisiah dan chizib na’sri – mengharapkan bantuan dan pertolongan menghadapi musuh-musuh negara.
Shalat di mushola Parakan ini hanya diikuti oleh orang-orang muslim yang taat, kuat, ikhlas dan mampu, sebab teramat berat. Setelah 7 hari terselesaikan, diganti group lain. Demikian ganti bergantian, perjuangan dijalan Tuhan dilakukan. Sementara di pelataran rumah mbah Kyai, beberapa orang Kyai yang memiliki keahlian khusus membantu mbah Subeki. Mbah Subeki sendiri memberikan wejangan, kalau hidup mati, ditangan Tuhan dan dengan nama Allah kita minta pertolongan dan mohon perlindungan.
Dengan doa dan wejangannya, semangat juang dan kemantapan para pejuang berkobar-kobar. Kyai Haji Mochammad Ali menyediakan banyuwani untuk diminum, dan Kyai Haji Abdurrahcman menyiapkan sego slamet, sementara Kyai Some Goenardo, menyiapkan bambu runcing yang telah ditiupkan doa. Inilah yang kemudian dikenal luas : Bambu Runcing Kyai Subeki, sebilah bambu yang diruncingkan di satu sisi, dan telah “di-suwuk” oleh kyai Subeki. Artinya dibekalkan doa, keberanian dan keselamatan.
Dan ternyata memang ampuh. Seorang Jepang yang melangkah diatas bambu runcing yang tergeletak di Kandangan, langsung terjerembab, pingsan. Doa ini sungguh sangat mujarab, hingga kepopuleran kyai Subeki tersebar sampai ke Jawa Timur, Jawa Barat dan bahkan Madura. Tentu saja Parakan jadi padat oleh pejuang yang ingin mendapatkan “suwuk” mbah kyai pada bambu runcing, tetapi juga senjata-senjata lain. Stasiun Parakan dijejali pejuang yang menenteng bambu runcing. “Bahkan setiap hari sekitar 10.000 orang datang untuk minta suwuk”.
Untuk melayani permintaan suwuk mbah kyai ini, tentu saja ada yang ditugaskan meniupkan doa keujung bambu runcing yang disodorkan. Caranya, mereka harus berendam di kolam masjid Kauman mulai jam 01.00 dinihari sambil membaca doa : “Latut riquhul absor, wah wa yudh riqul adsor, wa wah latiful qobir.... “ sebanyak 313 kali. Bayangkan saja Parakan yang dingin, jam 10.00 dinihari, sambil membaca surat An Aam, ayat 103 diatas sebanyak 313 kali. Hanya pemuda Istachori yang mampu. Dan itulah alasannya ia diberi mandat untuk meniupkan doa : “Bissmillah Bi’aunillah (3x), Allahu akbar, ilaahana ya sayyidinna, anta maulanaa wan shurnnaa’ala qaumil kaafirirn...
Doa yang menempel di ujung bambu runcing, sego slamet sekepal yang mereka makan dan seteguk banyu wani, membuat para pejuang (BKR, Badan Kelaskaran dan AMRI) lebih memiliki keberanian dan kemantapan. Tidak sedikit diantara mereka yang ambil bagian dalam memukul mundur tentara sekutu dari Magelang, langsung mundur ke Ambarawa dan Semarang. Tokoh-tokoh penting yang pernah datang ke Parakan dan minta restu dan wejangan mbah kyai, antara lain Mr. Wongsonegoro, Mr. Suyudi, Kol. Nazir, K.H Wahid Hasim, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Mochammad Roem, K.H Masyur, K.H Zainal Arifin, Anwar Tjokroaminoto dan para bangsawan dari Yogyakarta yang membawa tosan aji untuk disepuh dengan doa dan suwukan.
Begitu populernya mbah kyai, bahkan Cak Roeslann Abdulgani Sekjen Penerangan (waktu itu) membawa seorang wartawan Amerika untuk melakukan wawancara dengan kyai Subeki. Demikian banyak pendatang yang mohon “suwuk” hingga pekarangan rumah mbah kyai penuh sesak dan dimanfaatkanlah masjid Kauman untuk dipakai sebagai ajang menggembleng dan memberikan wejangan oleh mbah kyai Subeki untuk para pejuang. Mbah Kyai Subeki, wafat 6 April 1959, Kamis Legi, pada usia 104 tahun dan dimakamkan di pesarean Sekuncen, Kauman Parakan.
Monumen Bambu Runcing di Temanggung di bangun ditunjukkan kepada kita sekarang untuk memperingati kepahlawanan BMT, Barisan Muslim Temanggung yang dikenal dengan nama Barisan Bambu Runing Parakan di masa revolusi fisik. Kenangan itu masih membekas dalam ingatan K.H Istachori Syam’ani AH Pengasuh Pondol Pesantren Zaedlatul Maarif Thahazuz Al-Qur’an yang juga Cucu mbah Kyai Subeki.
Sumber : Majalah Krida. Edisi 166. Hal 5
Sumber : Majalah Krida. Edisi 166. Hal 5
0 Comments: