Bagi mereka yang akan menunaikan ibadah haji, ada anjuran yang sampai sekarang oleh banyak masih dituruti meski tidak terlalu ketat. Di samping atau bersamaan dengan acara pamit-pamit, calon haji dianjuri untuk meminta maaf atas segala kesalahan. Biasanya karena masalah teknis dan waktu, calon jamaah haji mengambil praktisnya: mengundang sanak famili, kenalan, dan tetangga dalam acara pamitan sekaligus tasyakuran yang sengaja diselenggarakan di rumahnya.
Dalam acara semacam itu umumnya si calon haji tidak bicara sendiri, tapi mewakilkan kepada seseorang untuk memamitkan dan memintakan maaf dari udangan yang hadir. Galibnya pidato sang wakil ini mirip pidato wakil shahibul musibah, ketika mewakili ahli waris dalam acara pelepasan jenazah. Bahkan pada saat pelepasan calon haji biasanya juga diadakan acara azan segala. Pendek kata ada banyak kemiripan calon haji ke Baitullah dengan pelepasan jenazah ke kubur, termasuk suasanya yang haru-biru.
Baca Juga : Pemalang Selayang Pandang
Untuk pergi haji, berbeda dengan pergi ke tempat-tempat lain, diperlukan persiapan-persiapan khusus yang cukup menyibukkan calon haji yang bersangkutan. Disamping mengurus ini itu, calon haji juga mempersiapkan tetek-bengek perlengkapan dan bekal, termasuk kain putih pembungkus dirinya saat ihram kelak. Lalu, pasrah-pasrahan kepada yang ditinggalkan. Untuk ongkos perjalanannya sendiri, calon haji harus menyetorkan uang jutaan, meskipun banyak calon haji yang tidak tahu persis perincian ongkos yang jutaan itu (sudah begitu saja, kadang-kadang tidak jadi berangkat). Di samping komponen untuk transportasi dan akomodasi, misalnya banyak yang tidak tahu bahwa ada komponen yang namanya living cost; paling-paling tahunnya nati di Pondok Gede dibagi amplop berisi uang Real Saudi.
Dari sekian ribu calon jamaah hai kita (yang dari Jawa saja misalnya), barangkali banyak sekali yang sebelumnya belum pernah menginjak bumi Jakarta atau Surabaya, bahkan mungkin semarang. Jadi bisa dibayangkan betapa nunak-nunuknya mereka di sana. Mereka yang sudah pengalaman saja sering kali masih mengalami kasus alah jalan atau tersesat. Juga dalam hal pelaksanaan ibadah hajinya sendiri meski sudah ditatar – bahkan yang masing merguru lagi kepada kiai atau ustad – umunya masih ada saja penyesalan-penyeselan karena merasa belum pas benar pelaksanaan ibadahnya. Ini barangkali termasuk salah satu faktor penting yang menyebabkan setiap haji masih terus ingin kembali naik haji lagi dan lagi.
Demikianlah maka kelancaran perjalanan haji dan kemabrurannya banyak tergantung kepada kesiapan dan persiapan si calon haji yang bersangkutan. Diperlukan kesiapan dan persiapan secara lahir maupu batin. Di samping bekal yang cukup, pengertian mengenai seluk beluk ibadahnya sendiri dan pengenalan terhadap lika-liku perjalanannya, juga tidak kalah penting adlaah noto ati, niat yang benar lillah. Syahdan memang seringkali orang mengibaratkan ibadha haji, khususnya ketika wukuf di Padang Arafah seperti hari kebangkitan (dari kubur) kelak. Semua orang dibalut kain putih-putih, dikumpulkan di suatu Padang terbuka yang sangat terik untuk dihisab di hadapan sang Maha Hakim. Allah SWT.
Bahkan konon, setiap jamaah haji ketika di tanah suci mengalami hal-hal aneh - baik yang menyenangkan atau yang menyakitkan- yang mengingaktan perilakunya sebelumnya. Dengan mempertimbangkan ibarat tersebut atau tidak, kiranya sejak berangkat dari tanah air, orang naik haji memang nyaris seperti – atau katakanlah mirip sedang menjalani ‘latihan’ menjadi – orang mati yang akan berangkat ke kubur atau akhirat. Bedanya, orang yang baik haji masih diberi kesempatan untuk kembali bagi menyempurnakan lagi amaliahnya; sedangkan orang yang berangkat ke kubur dan akhirat, betapa pun inginnya, tak bakal bisa lagi kembali mengulang-perbaiki kehidupannya seandaninya ‘disana’ mengalami penyesalan-penyeselan.
Jadi dibandingkan pergi naik haji, ditinjau dari segi manapun: jaun dan lika-likunya perjalanan, kerasnya medan dan tantangan yang dihadapi ditambah faktor kurang atau tidak adanya sama sekali ‘pengalaman’ pergi menuju ke kubur dan akhirat tentulah diperlukan kesiapan dan persiapan yang jauh lebih sempurna. Kesiapan dan persiapan lahir batih yang lebih mantap; kendaraan dan bekal yang lebih meyakinkan, termasuk living cost yang lebih banyak, sampai tinggalan yang lebih memadai. Untuk keberangkatan yang ini, kita semua termasuk daftar tunggu. Nah, sudah siapkan kita?
Sumber : Majalah Aula. April 1995. A Mustofa Bisri
0 Comments: