Baca Juga : Prof. Dr. Margono Soekarjo Ahli Bedah sekaligus Pejuang
Waktu itu, seorang Belanda mendirikan gerakan AI, Anti Indonesia, yang segera ditandingi gerakan Ngarpani yang mendirikan Pemuda Berani Mati. Namun sayang sekali lagi Ngarpani tertangkap. Untung bisa lolos tidak di “digul: kan serta teman lainnya. Bersama dokter Buntaram, pemuda ini dan Soedewo berjuang melalui barisan P.K.O.P, Penolong Korban Perang sampai Jepang datang. Suatu hari dipanggil oleh Nadasi, tukang pukul Ken Pe Tai Jepang dengan tuduhan membebaskan tawanan Indonesia di penjara Jepang. Lantang pemuda Ngarpani menjawab tegas : “Kalau tuan mau pukuli dan tidak cocok dengan siaran radio Tokyo yang menyatakan kedatangan Jepang sebagai saudara tua akan bekerja sama dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Itu semua ulah mulut bekas polisi Belanda yang cari muka, pangkat dan harta.
Saya mengaku ke Jepara, tapi berunding dengan Patih dan Bupati Soekahar untukmemintakan ampun tawanan yang nyata tak bersalah pada Dai Nipon”. Bagaimanapun juga, Ngarpani tetap dijebloskan penjara akibat fitnah kaum penjilat, pengkhianat bangsa yang mengetahui Ngarpani memang “orang pergerakan” yang gigih dan cinta bangsa. Proklamasi dikumandangkan, disambut oleh Ngarpani dan kawan-kawan dengan mendirikan Dewan Pimpinan AMRI, Angkatan Muda Republik Indonesia yang bermarkas di Jl. Bojong 85 Semarang.
Ngarpani bertugas di pasukan Serobot pimpinan Broto Jenggot. Di Semarang, Jepang dan Belanda masih merajalela. Ngarpani mendapat tugas untuk menjobloskan Belanda atau peranakan Belanda ke penjara serta merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Tugas utama, bersama 5 orang pemuda minta kunci pada Jepang untuk membuka gudang barang milik Cina di Jl. Kedasih, dekat stasiun Tawang. Tugas itu berhasil dengan baik hingga dipercaya dengan tugas kedua membuka gudang juga milik Cina di Sukorejo dan Weleri. Isinya beras yang segera dibawa ke Semarang.
Perintah ketiganya datang dari Dewan Pimpinan AMRI yang minta Ngarpani mengadakan serbua umum ke markas Kido Butai Jatingaleh (sekarang asrama Kesatrian Jangli) untuk merampas senjata dari tangan Jepang. Tidak seluruhnya berhasil sebab Jepang hanya menyerahkan senapan-senapan kecil yang rusak. Selebihnya masih ditahan dengan alasan menunggu instruksi Nakamura Botai dari Magelang. Jam 03.00 dinihari markas BKR diserang Jepang, sedang tentara AMRI dan BKR yang kekurangan senjata sulit membalas. Tangal 14 oktober 1945, jam 07.00 pagi tembakan mortar dan senapan Jepang menggencar.
Peluru dan mortar banyak menimpa Seteran Miroto, tempat tinggal Ngarpani. Seorang anak bernama Mat Tohir bin Ayup terkena dileher, namun masih beruntung nyawanya bisa diselamatkan. Jam 15.00 sore, ketika pertempuran masih seru, Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah yang mengenakan caping kropak dan slempang sarung dikawal oleh Djoko Soepardi anggota BKR meninjau front Seteran Miroto. “Bagaimana pak. Apa terus dilawan?” Tanya Ngarpani. Mr. Wongsonegoro menjawab tegas : “Terus dilawan. Merdeka !: “Merdeka Pak!. Merdeka!.” Sambut Ngarpani bangga.
Gaya Pejuang
Pertempuran itu berjalan begitu sengit, namun tak imbang. Seperti cerita Slamet Kahona, anak angakat Ngarpani yang selalu berada di samping ayahnya, perempuran paling seru di sekitar Kampung Kali, Kali Tumpang, HBS (sekarang SMA Neg. 1) dan Seteran Miroto dekat lapangnan Union (sekarang kantor Kecamatan Semarang Tengah). Di HBS, pasukan AMRI Slamet Kahona dan Ngarpani dipecundangi. Jepang rupanya bersembunyi di atas pohon-pohon asam dan mungur, sementara AMRI hanya berbekal dua senjata laras panjang dan sejumlah besar bamboo runcing hasil suwukan Kyai Subeki Parakan. Korban berjatuhan. “Dan Kali Tumpang, Pekunden, Seteran, serta Bojong dipenuhi mayat yang menggelembung, membusuk” kata Slamet Kahono.
Semarang berselimut bau mesiu, anyir darah, bau busuk. Langit seputar Semarang murung. Awan menggantung, malam bagai kopi kental dan suara ratap tangis keluarga korban mencekam selama pertempuran berkorban. Tanggal 17Jepang menyebarkan propokasi damai, meski sebenarnya itu tipu muslihat belaka. Dengan meminjam sedan perfect milik seorang Belanda, Yung yang juragan Bis Bos di Poncol, bersama beberapa rekan Ngarani mengumumkan ajakan damai Jepang keliling Semarang.
Tapi di Peterongan ia ditembaki Jepang. Juga di Bojog, beberapa butir peluru menerpa mobil itu, meski Ngarpani berkaok-kaok mengumumkan syarat perdamaian, dilarang saling menembak dan perletakan senjata kedua belah pihak. Jepang melanggar pengumumannya sendiri. Seorang AMRI gugur. Namanya Supardi bin Suparno. Pertempuran berkobar lagi, semakin sengit, semakin sadis. Tanggal 19 Belanda dan Inggris datang. Pertempuran berhenti setelah lima hari penuh memekakkan telinga Semarang, menguras keringat, menyimbah darah dan air mata.
Kata Inggris dan Belanda, semua senjata AMRI harus diletakkan karena AMRI bukan tentara. Yang berhak hanya polisi. Dan siasat baru muncul. Anggota AMRI dirombak sedikit lalu menjadi Angkatan Muda Kepolisian. Markas Besar disepakati pindah ke Jl. Sayidan. Ngarpani mendirikan Ranting Markas Besar Angkatan Muda Kepolisian di Gedung Desto Obee, sebelah selatan Hotel Telomoyo, sekarang. Ingris tahu siasat ini dan melawan Angkatan Muda Kepolisian. Untung tertembak di depan Hotel Pavillion (kini Dibya Puri).
Bukan hanya itu, sebab sekutu makin menggila dengan serangan udara dan tank secara total. Pejuang kita tewas 30 orang. Sekutu memasuki kampong, memblokir jalan dengan tank-nya dan membati buta melepaskan tembakan. Rumah Ngarpani hancur luluh. Ngarpani dan Slamet, mengundurkan diri dan bergabung dengan tentara Hisbullah pimpinan KH Ibrahim di Kaliwungu. Karena senjata kurang lengkap, Ngarpani pindah bergabung dengan BPRI pimpinan Marsiman masih di Kaliwungu. Namun kesatuan itu setelah clash 1 tahun 1946 bergabung dengan BPRI Muntilan. Bersama Amat Kahar, Ngarpani juga pindah ke Muntilan. Belanda masuk dan Mat Kahar tewas tertembak. Tahun 1948, dengan kepandaian meramu jamu, Ngarpani bergabung dengan PPOI, Persatuan Pedagang Obat Indonesia pimpinan Pak Amat di Yogya.
Setahun kemudian Belanda masuk Yogya, Ngarpani ke Klaten dengan memberi bantuan pertolongan medis kepada gerilyawan yang menderita dengan ramuan jamu Jawa. Tahun 1950 setelah penyerahan kedaulatan, Ngarpani pulang ke Semarang, meninggalkan front Kebon Alas Manisrenggo, Klaten. Rumah di Seteran Miroto rata dengan tanah. Menyesalkah Ngarpani?. Tidak!. Itu resiko perjuangan. Dengan bekal kepandaian, Ngarpani meneruskan jamu Bopo biyungnya, sampai maut datang menjemput Ngapani tahun 1986 lalu, pada usia 80 tahu, hilang sudah seorang bunga bangsa yang dikenal sebagai Pak Sastro Bopobiyung..
Sumber : Majalah Krida. Edisi 168
0 Comments: